(Sebuah Cerpen Satir Birokrasi)
Di Kecamatan Sedayu, rapat adalah bagian dari budaya, bahkan bisa dibilang kearifan lokal yang lestari.
Masalah apapun, dari drainase tersumbat sampai jadwal senam jum’at, tak bisa diselesaikan tanpa “rapat koordinasi lintas sektor”.
Hari itu, ruang rapat penuh sesak. Di depan, Camat membuka acara dengan suara lantang.
“Baik, sesuai hasil rapat minggu lalu, hari ini kita rapat untuk menindaklanjuti hasil rapat sebelumnya, yang membahas rencana rapat koordinasi antar-desa.”
Para peserta mengangguk dengan ekspresi khidmat. Di papan tulis tertulis besar:
Agenda: Evaluasi Rapat Koordinasi Tahap Kedua untuk Persiapan Rapat Koordinasi Tahap Ketiga.
Sekretaris kecamatan dengan tekun menulis notulen. Ia sudah terbiasa mengetik cepat kalimat sakti:
“Akan ditindaklanjuti pada rapat berikutnya.”
Kalimat itu seperti mantra yang membuat semua peserta tenang, tak ada keputusan, tapi semua merasa sudah bekerja.
Di sudut ruangan, Rudi, pegawai baru, berbisik pada temannya,
“Kita ini mau menyelesaikan masalah apa, sih?”
“Sstt… tenang aja,” jawab seniornya, “itu dibahas di rapat minggu depan.”
Rapat berlangsung tiga jam. Ada yang bicara soal koordinasi, ada yang menyinggung tentang pentingnya sinergitas, dan ada yang sekadar membacakan ulang poin rapat sebelumnya.
Saat waktu hampir habis, Camat berkata:
“Baik, karena waktu sudah menunjukkan hampir jam makan siang, kita simpulkan bahwa perlu ada rapat lanjutan untuk menuntaskan pembahasan yang belum tuntas.”
Semua bertepuk tangan, tanda keberhasilan.
Rudi yang masih polos mengangkat tangan.
“Pak, kalau semua dibahas di rapat lanjutan, kapan masalahnya selesai?”
Ruangan mendadak hening.
Camat menatapnya dalam, lalu berkata bijak:
“Nak, yang penting bukan hasilnya… tapi proses koordinasinya. Karena tanpa koordinasi, tidak akan ada rapat. Tanpa rapat, tidak akan ada kegiatan. Dan tanpa kegiatan… laporan bulanan kita kosong.”
Semua kembali bertepuk tangan, lebih keras dari sebelumnya.
Beberapa minggu kemudian, Rudi mencoba membuat gebrakan. Ia menulis surat undangan dengan judul:
“Rapat Penutupan Semua Rapat.”
Isinya: “Tujuan: Menyelesaikan semua hasil rapat yang belum selesai.”
Heboh. Seluruh perangkat desa datang. Bahkan perwakilan kabupaten ikut hadir karena dianggap “inovasi luar biasa dalam manajemen pemerintahan daerah.”
Namun begitu rapat dibuka, Camat berkata:
“Baik, sebelum kita tutup semua rapat, kita perlu rapat kecil untuk mempersiapkan penutupan ini agar lebih terkoordinasi.”
Dan sejak saat itu, “Rapat Penutupan Semua Rapat” menjadi agenda rutin bulanan.
Rudi akhirnya dipromosikan, bukan karena menutup rapat, tapi karena idenya menghasilkan rapat baru yang “sangat produktif.”
Konon, di Kecamatan Sedayu, rapat bukan sekadar kegiatan. Ia adalah cara hidup. Dan di situ, koordinasi adalah bentuk cinta paling tulus birokrasi terhadap dirinya sendiri.
